Digitalisasi Pendidikan Melaju, Tapi Apakah Semua Sekolah Siap Melompat?

Sebuah Catatan Kecil Memperingati Hari Guru Nasional Tahun 2025

Oleh :  Hamsaruddin S.Pd

Cabdin2sulbar - Presiden Prabowo Subianto menaruh harapan  besar pada masa depan pendidikan Indonesia. Saat meresmikan program “Digitalisasi Pembelajaran untuk Indonesia Cerdas” di SMPN 4 Bekasi, Prabowo menyebut bahwa sistem pendidikan Indonesia harus segera melakukan lompatan besar. Dan lompatan itu, menurutnya, hanya mungkin terjadi melalui digitalisasi, terutama karena masih banyak guru yang belum kompeten dalam bidang sains dan bahasa asing.

Pernyataannya sederhana, tapi menyentuh titik sensitif. Seolah-olah Prabowo ingin mengatakan bahwa Indonesia tertinggal bukan karena kurang usaha, tetapi karena pola pembelajarannya masih tersangkut di masa lalu. Dilansir dari laman Detik, Prabowo menegaskan banyak guru belum menguasai pelajaran matematika, biologi, fisika, maupun bahasa asing. Dengan digitalisasi, katanya, Indonesia bisa melompat lebih cepat.

Lompatan itu kemudian diwujudkan dalam angka yang tidak kecil. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah melaporkan bahwa sejak Agustus hingga pertengahan November 2025, sebanyak 172.550 papan interaktif digital atau interactive flat panel (IFP) telah didistribusikan ke sekolah dan PKBM. Artinya, 75 persen dari total target 288.865 unit sudah berada di tangan sekolah. Program ini dipromosikan sebagai revolusi ruang kelas, dari papan tulis kapur menuju layar sentuh yang bisa menampilkan video, simulasi 3D, hingga materi daring interaktif.

Dalam teori, gambaran itu memang terlihat cemerlang. Guru tidak perlu lagi menggambar struktur atom yang miring ke mana-mana. Cukup klik, siswa bisa melihat model molekul yang berputar di layar. Namun, seperti biasa, teori dan praktik di Indonesia kadang dipisahkan oleh jurang digital yang tidak kecil.

Digitalisasi bukan sekadar soal alat. Banyak sekolah sebenarnya sudah memiliki proyektor sejak lama, tetapi dibiarkan berdebu di lemari. Banyak guru sudah memegang laptop, tapi hanya digunakan untuk mengetik daftar nilai. Dan kini hadir papan interaktif yang jauh lebih canggih — tetapi kalau cara mengajarnya masih seperti menggunakan papan tulis, hasilnya pun tidak akan berubah banyak.

Kekhawatiran itu bukan datang dari pengamat luar, melainkan dari guru sendiri. Seorang kepala sekolah di Kabupaten Sidoarjo yang dikutip Antaranews mengungkapkan kegembiraannya menerima bantuan IFP, namun juga mengaku cemas. “Kami bersyukur, tapi kalau tidak ada pelatihan, ya nanti cuma jadi pajangan,” ujarnya. Inilah ironi digitalisasi kita: alat datang lebih cepat daripada kesiapan manusianya.

Pada titik ini, sebagian orang mungkin setuju dengan Prabowo bahwa kemampuan guru Indonesia masih perlu ditingkatkan. Tetapi tetap muncul pertanyaan yang layak didengar: Mengapa guru selalu menjadi pihak yang pertama disorot? Ketika presiden mengatakan guru belum kompeten, itu seperti menyalahkan ujung rantai yang paling lemah dari sistem yang bermasalah sejak hulu. Guru diharapkan mampu mendidik anak di era digital, tapi pelatihannya terbatas, fasilitas tidak merata, dan internet pun sering lemot.

Karena itu, jika bangsa ini ingin melompat, negara harus berlari lebih dulu, bukan hanya menyuruh guru melompat dengan kaki yang masih terikat.

Masalah digitalisasi pendidikan jauh lebih besar daripada distribusi perangkat. Data memang mencatat 172 ribu papan interaktif telah dikirim, tetapi tidak semuanya tiba di sekolah yang kondisi infrastrukturnya setara. Sekolah perkotaan lebih cepat memanfaatkan teknologi, sementara sekolah di pedalaman NTT, Maluku, hingga Kalimantan masih berjuang mendapatkan listrik stabil, apalagi internet. Lompatan pendidikan bisa berisiko: apabila hanya sebagian yang mampu melompat, maka sisanya justru akan tertinggal lebih jauh.

Selain itu, papan interaktif tetap hanya alat bantu. Ia bukan solusi ajaib. Tidak ada jaminan bahwa dengan layar sentuh, siswa akan otomatis lebih pintar. Pendidikan tetap bergantung pada guru yang inspiratif, bukan pada perangkat canggih yang sunyi. Seorang guru senior di Bandung pernah berkata, “Kami tidak menolak digitalisasi, tapi jangan jadikan kami sekadar operator layar.” Sebuah kalimat yang menampar, karena banyak guru merasa digitalisasi sering dirancang dari atas tanpa mendengar suara mereka di bawah.

Program Digitalisasi Pembelajaran untuk Indonesia Cerdas tentu patut diapresiasi. Namun tujuan mencerdaskan bangsa akan sulit terwujud jika tidak dibarengi perencanaan yang matang dan pelatihan intensif bagi guru. Data UNESCO bahkan menunjukkan bahwa 70 persen guru Indonesia belum memiliki keterampilan digital pedagogis dasar. Mereka bisa mengoperasikan perangkat, tapi belum tentu bisa mengintegrasikan teknologi ke dalam proses belajar secara bermakna.

Belum lagi soal biaya pemeliharaan. Perangkat canggih membutuhkan daya listrik stabil, jaringan internet, dan dukungan teknis. Jika perangkat rusak, siapa yang menanggung biayanya? Banyak sekolah negeri bahkan masih bergantung pada dana BOS untuk membayar listrik bulanan. Jangan sampai papan interaktif berakhir seperti peralatan sekolah lainnya: mengkilap saat peresmian, lalu redup setelah publikasi mereda.

Namun pada akhirnya, Prabowo tidak sepenuhnya salah. Pendidikan Indonesia memang harus melompat, bukan berjalan pelan. Dunia berubah cepat dan generasi muda tidak bisa belajar dengan metode yang stagnan. Tetapi untuk melompat bersama, semua pihak harus memiliki pijakan yang sama kuat. Jika tidak, yang melompat duluan akan terbang lebih jauh, sementara yang lainnya terjatuh lebih dalam.

Digitalisasi pendidikan, pada akhirnya, bukan tentang seberapa cepat perangkat didistribusikan. Ini tentang arah, pemerataan, dan kesiapan manusia. Apakah kita ingin membangun generasi yang berpikir kritis dan adaptif? Atau sekadar generasi yang menggeser tombol next tanpa benar-benar memahami apa yang dipelajari?

Jika tujuannya adalah yang pertama, maka revolusi pendidikan harus dimulai bukan dari papan interaktif di kelas — tetapi dari keberanian negara untuk berhenti menyalahkan guru dan mulai benar-benar memberdayakan mereka.

Dikutip dari berbagai sumber 


Post a Comment for "Digitalisasi Pendidikan Melaju, Tapi Apakah Semua Sekolah Siap Melompat?"